#BersihAmanahProfesional
(021) 83780435 - 37
info@himpuh.or.id
082230139999

Hubungan Kekerabatan BPJS dan Ibadah Haji Khusus

Kategori : Berita, Topik Hangat, Ditulis pada : 12 Desember 2023, 15:53:50

f80e65d7-1ec8-4f1e-9744-8912776fa6b5.jpeg

HIMPUHNEWS - Tak terasa musim Haji 1445 Hijriyah / 2024 Masehi sudah tinggal hitungan bulan. Pemerintah Indonesia sudah menetapkan keberangkatan gelombang pertamanya pada 9 Mei 2024 mendatang (Haji Reguler), kurang lebih lima bulan dari sekarang.

Tapi sepertinya keberangkatan calon jamaah Haji, terutama jamaah Haji Khusus, kali ini akan terganjal sebuah aturan, yang bahkan sama sekali tidak ada hubungannya dengan rangkaian ibadah Haji itu sendiri yakni calon jamaah Haji Khusus wajib menjadi peserta aktif BPJS Kesehatan.

Latar Belakang

BPJS Kesehatan sendiri sebetulnya adalah salah satu wujud program pelayanan kesehatan dari pemerintah yang dinamakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ada program similar yaitu BPJS Ketenagakerjaan, yang sama-sama merupakan produk JKN. Payung hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Kepesertaan JKN bersifat wajib, tidak terkecuali bagi masyarakat tidak mampu karena terdapat metode pembiayaan kesehatan individu bagi mereka ini yang bisa ditanggung oleh pemerintah.

Mari kesampingkan dulu hal lainnya, seperti halal-haram metodenya dan lain sebagainya, yang jelas program pemerintah yang satu ini jika berjalan normatif maka dampaknya bagi kesehatan Nasional sangat luar biasa. Semua orang di Indonesia tanpa terkecuali, dapat merasakan layanan kesehatan dengan biaya terjangkau, mencakup penyuluhan kesehatan, pelayanan pencegahan dan pengobatan termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis.

Penanggung Jawab

Sistem Jaminan Sosial Nasional sepenuhnya adalah menjadi tanggung jawab Pemerintah RI. Ditunjuk sebagai pelaksana adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), sesuai UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS. Fungsi utama BPJS adalah menyelenggarakan program jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pensiun dan program jaminan hari tua.

Diantara tugas BPJS adalah melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta, memungut dan mengumpulkan iuran kepesertaan, mengelola dana untuk kepentingan peserta, mengumpulkan dan mengelola data peserta, serta memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program jaminan sosial.

Salah satunya wewenangnya adalah memberikan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi kerja yang tidak memenuhi kewajibannya. BPJS juga memiliki kewajiban memberitahukan kepada peserta mengenai hak dan kewajiban untuk mengikuti ketentuan yang berlaku termasuk informasi prosedur untuk mendapatkan hak dan memenuhi kewajibannya.

Kewajiban Menjadi Peserta Program BPJS

Kepesertaan atas program BPJS dijelaskan dalam UU Nomor 24 Tahun 2011 adalah wajib untuk setiap orang termasuk warga asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia. Pelanggaran terhadap kewajiban mengikuti program BPJS ini adalah sanksi administratif dalam bentuk teguran tertulis, denda hingga tidak mendapat pelayanan publik tertentu. Khususnya sanksi administratif berupa tidak mendapat pelayanan publik tertentu dapat dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah atas permintaan BPJS.

Calon Jamaah Haji Wajib Peserta BPJS?

Dari semua hal tertulis diatas setidaknya kini kita sudah mendapat gambaran penting :

Pertama, Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah sebuah program pemerintah Indonesia yang seharusnya dilihat sebagai program amat sangat bermanfaat bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali.

Kedua, SJSN dilaksanakan oleh sebuah Badan Publik Nasional yang dibentuk oleh Undang-Undang, yaitu Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS).

Ketiga, Program BPJS terdiri dari jaminan kesehatan, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pensiun dan program jaminan hari tua.

Keempat, Setiap orang termasuk warga asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, diwajibkan mengikuti dua program utama BPJS yaitu jaminan kesehatan (individu dan pemberi kerja) serta jaminan ketenagakerjaan (untuk pemberi kerja).

Kelima, Terdapat sanksi administratif atas pelanggaran kepesertaan program BPJS.

Kelima poin diatas bersumber dari UU Nomor 40 Tahun 2004 dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, artinya bukan sesuatu yang mengada-ada. Lalu bagaimana korelasinya antara calon jamaah Haji dan kewajiban sebagai peserta aktif program BPJS?

Ternyata kebijakan ini diambil atas dasar Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program
Jaminan Kesehatan Nasional, yang berbunyi “Menteri Agama untuk : mensyaratkan calon jamaah Umrah dan jamaah Haji Khusus merupakan peserta aktif dalam program Jaminan Kesehatan Nasional”.

Agak menarik disini karena Inpres ini tidak menyebutkan jamaah Haji Reguler juga dipersyaratkan menjadi peserta aktif program JKN 😊. Dan lebih menarik lagi karena tidak ada instruksi kepada Menteri Pariwisata untuk memberlakukan hal yang sama bagi pelaku perjalanan wisata.

Inpres 1 Tahun 2022 ini yang lalu diterjemahkan melalui Keputusan Menteri Agama RI Nomor 1456 Tahun 2022 tentang Persyaratan Kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional dalam Penyelenggaraan Ibadah Umrah dan Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus.

Wow, sekali lagi disini Jamaah Haji Reguler tidak disebutkan, sepertinya jamaah Haji Khusus memang benar-benar
Khusus, hingga dapat kehormatan dipersyaratkan menjadi peserta aktif JKN 😁.

Bunyi peraturannya, yang berhubungan dengan jamaah Umrah / Haji Khusus adalah sebagai berikut :

1. PPIU dan PIHK mempersyaratkan pendaftaran calon jamaah Umrah dan jamaah Haji Khusus sebagai peserta aktif program Jaminan Kesehatan Nasional, dibuktikan dengan data/dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
2. Jamaah Haji Khusus yang belum terdaftar sebagai peserta program Jaminan Kesehatan Nasional sebelum keputusan ini ditetapkan, wajib menjadi peserta aktif pada saat pelunasan Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus.

Bahan Pertimbangan Untuk Pengambil Kebijakan

Ketika Instruksi Presiden sudah diteken, maka kewajiban Menteri Agama sebagai pembantu Presiden adalah melaksanakannya. Namun ada satu hal yang bisa menjadi bahan pertimbangan untuk pengambil kebijakan, khususnya Kementerian Agama RI, bahwa ketidak aktifan calon jamaah Haji maupun Umrah dalam kepesertaan program JKN seharusnya tidak serta merta berpotensi membatalkan kepesertaan yang bersangkutan baik dalam perjalanan ibadah Umrah terlebih dalam perjalanan ibadah Haji Khusus. Tidak elok juga jika dihubungkan dengan ditahannya pengembalian keuangan Haji ke PIHK yang notabene dana yang disimpan oleh BPKH itu adalah milik jamaah.

Kata paling tepat untuk melukiskan kondisi di atas adalah pemaksaan dan tidak relevan. Mengapa misalnya jamaah Haji Reguler tidak diperlakukan sama? padahal tujuannya sama-sama untuk beribadah Haji. Apa jangan-jangan potensi calon jamaah Haji reguler untuk batal berangkat menjadi tinggi jika persyaratan kepesertaan JKN ini diterapkan kepada mereka 🤭. Pembatalan kepesertaan Haji reguler pasti jadi isu Nasional kalau terjadi akibat dikaitkan dengan BPJS Kesehatan.

Kalaupun kemudian Kementerian Agama memberlakukan hal yang sama baik untuk jamaah Haji Khusus maupun jamaah Haji Reguler, apa yang menjadi dasar penerapan kewajibannya?

Inpres 1 Tahun 2021 sangat jelas frasanya adalah “Mempersyaratkan” bukan “Mewajibkan” calon jamaah menjadi peserta BPJS Kesehatan. Jika kemudian KMA 1456 Tahun 2022 mewajibkannya, maka Menteri Agama juga seyogyanya membuat aturan turunannya, apa yang terjadi dengan calon jamaah Haji Khusus yang dibatalkan kepesertaanya karena tidak terdaftar sebagai peserta aktif program JKN, atau karena dananya ditahan pengembaliannya ke PIHK. Sehingga PIHK/PPIU tidak dibenturkan dengan jamaahnya.

Presiden RI sudah bijak sehingga Instruksi beliau adalah mempersyaratkan bukan mewajibkan. Menteri Agama pasti juga akan terlihat arif jika menafsirkannya dalam nada yang sama. Toh sudah jelas di regulasinya, program BPJS adalah tupoksinya BPJS. Sehingga ketika dipersyaratkan kepada calon jamaah Haji Khusus maupun Umrah, dan syarat tersebut tidak terpenuhi, maka yang dilakukan Kementerian Agama adalah mengembalikannya kepada kebijakan BPJS, bukan menyebabkan jamaah terhambat keberangkatan ibadahnya.

Kalau kemudian ketetapan ini dihubungkan dengan klausul “Pelanggaran terhadap kewajiban mengikuti program BPJS ini adalah sanksi administratif dalam bentuk tidak mendapat pelayanan publik tertentu”, maka kita dapat mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial, Pasal 9, ayat 2 : “Sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu yang dikenai kepada setiap orang, selain pemberi kerja, pekerja dan penerima bantuan iuran yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program jaminan sosial meliputi :

1. Izin Mendirikan Bangunan (IMB);
2. Surat Izin Mengemudi (SIM);
3. Sertifikat Tanah;
4. Paspor; atau
5. Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).

Tidak disebut sama sekali menjadi syarat pelayanan pendaftaran Umrah dan Haji Khusus 😊.

Akan lebih indah jika kemudian Kementerian Agama RI mau berlapang dada meninjau kebijakan kepesertaan aktif bagi calon jamaah Haji Khusus dan Umrah, dari kewajiban menjadi persyaratan biasa. Kegagalan memenuhi persyaratan ini dikembalikan saja ke mekanisme yang berlaku di BPJS, yaitu dimulai dengan 2x surat teguran, pengenaan denda dan seterusnya, tanpa menghubungkannya dengan hal lain diluar ketentuan tersebut.

Semoga tulisan ini dipandang sebagai masukan membangun dan menjadi pertimbangan para pengambil kebijakan untuk semakin memudahkan para tamu Allah dalam menggapai cita-citanya, berHaji dan berUmrah memenuhi
panggilanNya.

 

Ditulis oleh :

Muhammad Firman Taufik Prawiradilaga - Praktisi Penyelenggara Ibadah Umrah dan Haji Khusus sejak tahun 1995, Sekjen Himpuh 2020-2024.

messenger icon
messenger icon Chat Dengan Kami
built with : https://erahajj.co.id