Perempuan Haid Saat Melaksanakan Haji, Bagaimana Ketentuan Hukumnya?
HIMPUHNEWS - Ibadah haji menyimpan banyak dinamika, terutama bagi jemaah perempuan yang sedang mengalami haid. Salah satu pertanyaan yang kerap muncul: bagaimana menyikapi wukuf di Arafah dan tawaf saat dalam kondisi haid?
Pembimbing Ibadah (Musytasyar Din) PPIH Arab Saudi, Abdul Moqsith Ghazali menegaskan bahwa wukuf tetap sah dilakukan oleh perempuan yang sedang haid, karena wukuf tidak mensyaratkan kesucian seperti salat atau tawaf.
“Jangan khawatir bagi perempuan yang wukuf tapi masih haid, maka wukufnya tetap sah. Hanya saja ia masih menanggung tawaf Ifadah yang disyaratkan untuk suci,” jelas Abdul Moqsith kepada wartawan.
Namun, bagaimana jika waktu tawaf Ifadah bertepatan dengan jadwal kepulangan ke Tanah Air? Menurut Abdul Moqsith, ada dispensasi berdasarkan pendapat sebagian ulama, termasuk dari Sayyid Muhammad Alawi Almaliki Almakkiyah.
“Bagi perempuan yang mau tawaf Ifadah tapi ia masih dalam keadaan haid, sementara ia sudah harus segera pulang ke Tanah Air, maka ia bisa bertawaf dengan cara mandi sampai bersih lalu membalut haid hingga dipastikan tidak menetes di area tawaf dan area Masjidil Haram,” katanya.
Moqsith menjelaskan bahwa sistem kepulangan jemaah tidak bisa dinegosiasikan. Karena itu, bagi perempuan yang belum sempat menunaikan tawaf Ifadah karena haid, ada toleransi ibadah dengan cara tersebut.
“Kita sudah diatur oleh sistem kepulangan ke Tanah Air. Jadi yang belum dalam keadaan tahallul penuh atau belum tawaf Ifadah, tapi dia masih masih berhalangan, maka diperbolehkan tawaf dalam keadaan haid dengan cara seperti itu,” paparnya.
Masalah lain yang kerap dihadapi perempuan adalah saat memulai umrah wajib dari Madinah menuju Makkah. Perempuan haid tetap bisa berniat ihram dari Bir Ali, tapi tidak bisa langsung melakukan tawaf begitu sampai di Makkah. Mereka harus menunggu suci dan tetap menjaga keadaan ihram.
Tak hanya soal haid, Abdul Moqsith juga menyoroti soal wudhu dan tawaf, terutama potensi bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram akibat kerumunan.
Untuk kasus seperti ini, Moqsith menyarankan jemaah mengganti mazhab dari Imam Syafi’i ke Imam Hanafi. Pasalnya, dalam mazhab Syafi’i, bersentuhan kulit dengan lawan jenis yang bukan mahram membatalkan wudhu. Sementara menurut Imam Hanafi, tidak.
“Kalau salat tidak boleh bicara, makan dan minum, sementara tawaf boleh bicara, makan dan minum,” tambahnya, menjelaskan perbedaan antara dua ibadah tersebut.
Terakhir, ia juga mengingatkan bahwa selama dalam keadaan ihram atau sedang tawaf, perempuan harus melepas cadarkarena wajah dan telapak tangan bukan termasuk aurat dalam ibadah tersebut.
Mohon untuk memberikan komentar dengan jelas, sopan, dan bijaksana
Segala tulisan di ruang publik dapat meninggalkan jejak digital yang sulit dihilangkan
Segala tulisan yang memberikan sentimen negatif terkait SARA, ujaran kebencian, spamming, promosi, dan berbagai hal yang bersifat provokatif atau melanggar norma dan undang-undang dapat diproses lebih lanjut sesuai undang-undang yang berlaku