Bawwabat Makkah: Mushaf Raksasa yang Menyambut Jutaan Jiwa Menuju Kota Suci

HIMPUHNEWS - Di ujung jalan raya lengang yang memisahkan Jeddah dan Makkah, ada sebuah momen yang selalu membuat dada para peziarah mengetat pelan: sebuah gerbang lengkung, berdiri anggun, membentuk siluet yang mirip mushaf Al-Qur’an yang sedang terbuka di atas rehal. Di sanalah Bawwabat Makkah—sering pula dijuluki Bawwabat Al-Qur’an—menjaga pintu masuk menuju kota suci.
Gerbang itu bukan sekadar struktur beton berhiaskan ornamen. Ia adalah tanda peralihan, sebuah deklarasi visual bahwa perjalanan ini bukan lagi sekadar perjalanan darat, melainkan awal dari sebuah pengembaraan batin.
Bawwabat Makkah didirikan pada penghujung 1970-an, ketika Arab Saudi mulai membangun identitas urban kota-kota suci yang terus bertumbuh. Di masa itu, pembangunan infrastruktur Makkah melesat—jalan-jalan utama ditata, terowongan dibuka, dan landmark baru bermunculan untuk menyambut jumlah jemaah haji yang meningkat setiap tahun.

Di tengah gelombang modernisasi itulah gerbang ini dibangun: monumental, simbolik, dan langsung memikat perhatian siapa pun yang melintas. Dirancang untuk menandai batas wilayah Haram, gerbang ini dengan cepat menjadi ikon visual Makkah, seolah berkata pada setiap pendatang: “Mulai di sini, langkahmu adalah ibadah.”
Sebutannya sebagai Gerbang Al-Qur’an bukan tanpa alasan. Jika diamati dari kejauhan, bentuk gerbang itu memang seperti lembaran mushaf yang dibuka lebar. Lekuk lengkungnya membingkai langit, sementara motif geometris khas arsitektur Arab seperti mengingatkan pada halaman-halaman kitab suci.
Dalam imajinasi banyak peziarah, melewati gerbang ini serupa memasuki “mushaf raksasa”—sebuah ruang batin tempat ayat-ayat hidup dan menyapa. Bagi sebagian lainnya, gerbang ini menjadi semacam salam pembuka dari kota yang telah dinanti seumur hidup.
Secara fungsional, Bawwabat Makkah menandai batas yang penting: wilayah haram, kawasan suci dengan aturan-aturan ibadah yang ketat. Begitu seseorang melewatinya, dunia seolah berubah ritme. Perasaan yang menggelayut di dada pun bergeser—dari sekadar pelancong menjadi seorang tamu Allah.
Dalam banyak catatan perjalanan, detik ketika bus melintas di bawah gerbang ini kerap menjadi titik paling emosional: ada yang menahan napas, ada yang berbisik doa, ada pula yang meneteskan air mata tanpa sadar. Bagi para jemaah, gerbang itu bukan monumen; ia adalah bagian dari pengalaman religius.

Selama beberapa dekade, Bawwabat Makkah bertahan di tengah perubahan besar yang menyapu Makkah. Menara bertambah tinggi, hotel-hotel berdiri rapat, jalan-jalan bertambah sibuk. Namun gerbang ini tetap utuh, seolah menjadi penanda zaman: saksi dari kota yang terus hidup dan berkembang.
Ia adalah pengingat, bahwa setiap perjalanan spiritual punya pintu masuknya sendiri. Dan bagi jutaan jiwa dari seluruh dunia, pintu itu bernama Bawwabat Makkah—mushaf beton raksasa yang menunggu dengan sabar, menyambut siapa pun yang datang dengan hati penuh doa.
Mohon untuk memberikan komentar dengan jelas, sopan, dan bijaksana
Segala tulisan di ruang publik dapat meninggalkan jejak digital yang sulit dihilangkan
Segala tulisan yang memberikan sentimen negatif terkait SARA, ujaran kebencian, spamming, promosi, dan berbagai hal yang bersifat provokatif atau melanggar norma dan undang-undang dapat diproses lebih lanjut sesuai undang-undang yang berlaku
