Praktik Dana Talangan Haji Dinilai Penyebab Antrean Haji Kian Mengular
HIMPUHNEWS - Praktik dana talangan haji yang dilakukan lembaga keuangan dengan dalih membantu jemaah untuk bisa mendaftarkan haji masih marak di Indonesia. Padahal, bisa jadi jemaah yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan finansial yang memadai. Model dana talangan ini juga pada akhirnya menyebabkan daftar antrian (waiting list) haji semakin panjang.
Demikian seperti disampaikan Direktur Bina Haji, Arsad Hidayat dalam Diskusi Kajian Istitha’ah Keuangan Haji bersama sejumlah tokoh ormas Islam untuk membahas masalah istithaah keuangan bagi jemaah haji. Hadir, perwakilan dari Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Al-Washliyah, Persatuan Islam, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU), serta Asosiasi Penyelenggara Ibadah Haji Khusus pada Rabu (15/11) di Tangerang.
“Sebagaimana kesehatan, kemampuan secara finansial juga menjadi syarat penting bagi jemaah haji. Ini perlu dirumuskan agar bisa dipahami jemaah. Sehingga bagi jemaah yang tidak mampu secara finansial tidak perlu memaksakan,” kata Arsyad, merujuk pada sala satu syarat utama melaksanakan haji adalah istitha’ah (mampu) keuangan (maliyah) dan ketidakmampuan jemaahfinansial akan menggugurkan kewajiban ibadah hajinya.
“Jangan sampai jemaah memaksakan diri melalui dana talangan padahal dia tidak mampu. Ini juga menjadi salah satu penyebab tambah panjangnya antrian jemaah haji,” ujar Arsad.
Rumusan istitha’ah finansial juga penting, kata Arsad, sebagai bahan pertimbangan dalam membuat komposisi yang lebih berkeadilan antara biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang dibayar langsung oleh jemaah dan biaya haji yang bersumber dari nilai manfaat. Sebagaimana diketahui, Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) terdiri dari sejumlah sumber, antara lain Bipih yang dibayar jemaah dan nilai manfaat setoran awal. BPIH 2023 misalnya, rata-rata sebesar Rp90.050.637,26. Jumlah ini terdiri atas, Bipih yang harus dibayar langsung jemaah sebesar Rp49.812.700,26 (55,3%) dan sisanya sebesar Rp40.237.937 (44,7 %) dibebankan kepada nilai manfaat.
“Komposisi antara Bipih dan Nilai Manfaat harus dirumuskan secara lebih berkeadilan. Sebab, nilai manfaat setoran awal juga menjadi hak jemaah yang masih dalam antrean. Rumusan istithaah keuangan ini penting sebagai pertimbangan dalam menetapkan komposisi tersebut,” jelas Arsad.
Pemerintah, kata Arsad, sangat concern terhadap rumusan komposisi pembiayaan haji yang berkeadilan ini. Penghitungan komposisi Bipih dan nilai manfaat harus mempertimbangkan aspek keadilan. Artinya, setiap jemaah haji mendapatkan bagian dari nilai manfaat setoran awalnya secara lebih berkeadilan. Hal ini akan menjaga keberlanjutan nilai manfaat yang juga menjadi hak jemaah yang masih dalam antrian.
“Penghitungan komposisi BPIH harus dihitung betul dan secermat mungkin, agar dapat memberikan kemanfaatan tidak hanya buat jemaah haji yang berangkat saat ini tapi juga mereka yang akan berangkat di tahun-tahun ke depan,” urainya
Arsad berharap diskusi ini memberikan sebuah perspektif Fiqh tentang Istithaah Finansial sekaligus mengkaji komposisi pembiayaan haji yang lebih berkeadilan.
Diskusi Kajian Istitha’ah Keuangan Haji ini berlangsung tiga hari, 15 - 17 November 2023. Kasubdit Bimbingan Jemaah Khalilurrahman menambahkan, kegiatan ini bertujuan untuk mengkategorisasi istitha'ah dari aspek keuangan dalam rangka menjaga stabilitas nilai manfaat keuangan haji agar berkeadilan dan berkelanjutan.
“Saya berharap kegiatan ini melahirkan rekomendasi untuk membuat kebijakan terkait keberlansungan nilai manfaat,” tutupnya
Mohon untuk memberikan komentar dengan jelas, sopan, dan bijaksana
Segala tulisan di ruang publik dapat meninggalkan jejak digital yang sulit dihilangkan
Segala tulisan yang memberikan sentimen negatif terkait SARA, ujaran kebencian, spamming, promosi, dan berbagai hal yang bersifat provokatif atau melanggar norma dan undang-undang dapat diproses lebih lanjut sesuai undang-undang yang berlaku