Ketua MPR Minta Pemerintah Siapkan Regulasi Larang Umrah Backpacker
HIMPUHNEWS - Pembahasan umrah backpacker mengemuka dalam berbagai media mainstream dalam beberapa waktu terakhir. Fenomena ini menjadi populer sejalan dengan Kebijakan Arab Saudi yang membuka seluas-luasnya kesempatan bagi semua orang untuk bisa datang melaksanakan ibadah ke nagara tersebut melalui layanan aplikasi nusuk.
Melalui platform tersebut jemaah memang bisa mengurus dengan sendiri berbagai keperluan untuk melaksanakan umrah mulai dari transportasi, akomodasi, layanan ibadah dll. Banyak orang merasa tertarik karena umrah backpacker disinyalir lebih murah secara biaya dibanding umrah melalui PPIU.
Menanggapi fenomena ini Ketua MPR RI Bambang Soesatyo(Bamsoet) meminta pemerintah mengkaji maraknya fenomena tersebut, yang berangkat secara mandiri atau backpacker.
"Tentu adanya beberapa kemungkinan, diantaranya tingginya biaya umrah lewat penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU)," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin (19/02).
Bamsoet mengatakan pengkajian itu dapat melalui Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umroh (Ditjen PHU). Lanjut dia, Pasal 86 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang menyatakan bahwa perjalanan umrah harus melalui PPIU.
"Diketahui belum ada regulasi yang secara khusus mengatur soal itu," ujarnya.
Bamsoet juga mendorong Ditjen PHU Kemenag untuk segera menyusun peraturan pemerintah (PP), yang akan menjadi dasar pelarangan ibadah umrah secara mandiri. Pemerintah juga nantinya harus menjelaskan pentingnya aturan itu, antara lain jika melaksanakan umrah secara mandiri, tidak ada jaminan keselamatan bagi jemaah di Tanah Suci, khususnya bagi jemaah yang belum pernah ada pengalaman ke Arab Saudi.
Selain itu, Bamsoet juga meminta Kemenag untuk mengusut siapa yang memberikan perizinan umrah secara mandiri atau backpacker, hal itu penting agar tidak menjadi pelanggaran prosedur yang sudah ditetapkan Pemerintah Arab Saudi.
"Kami mendorong pemerintah untuk mengimbau seluruh pihak, utamanya bagi jemaah, bahwasanya kebijakan visa Arab Saudi yang membolehkan visa turis untuk umrah, cenderung bertentangan dengan regulasi di Indonesia," katanya menegaskan.
Dia berharap kesadaran masyarakat tentang kepastian perjalanan, yakni proses umrah wajib diberangkatkan oleh PPIU, untuk menghindari kerugian yang lebih besar, dan adanya korban-korban lain yang terabaikan karena tergiur dengan harga murah dan tidak terjamin keamanannya.
Umrah Backpacker dalam Undang-undang
Beberapa waktu lalu Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Hilman Latief menegaskan bahwa Pemerintah telah mengatur ibadah haji dan umrah berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah. Menurutnya penyelenggaraan ibadah haji dan umrah harus sesuai dengan regulasi.
“Umrah harus sesuai dengan regulasi yang diatur di dalam UU Nomor 8 Tahun 2019. Di dalam Pasal 86 disebutkan bahwa perjalanan ibadah umrah dapat dilakukan secara perseorangan maupun berkelompok melalui PPIU. Artinya bahwa masyarakat yg akan melaksanakan umrah harus melalui PPIU baik umrah secara perseorangan (umrah private) maupun berkelompok (group),” terang Hilman.
Umrah mandiri atau umrah backpacker dimungkinkan bila melalui PPIU. Selain itu umrah mandiri juga perlu pemahaman yang baik tentang ibadah dan regulasi Arab Saudi.
Menanggapi fenomena umrah backpacker, Hilman menuturkan bahwa larangan lebih ditekankan bagi pihak yang mengkoordinir keberangkatan. “Larangan lebih ditekankan bagi pihak yang tidak memiliki izin sebagai PPIU dalam mengumpulkan, memberangkatkan, dan menerima setoran biaya umrah,” kata Hilman menambahkan.
Pernyataan tersebut sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 2019 Pasal 115 dan Pasal 117. Pasal 115 menyebutkan bahwa “Setiap Orang dilarang tanpa hak bertindak sebagai PPIU mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah.” Sedangkan di Pasal 117 disebutkan bahwa “Setiap Orang dilarang tanpa hak melakukan perbuatan mengambil sebagian atau seluruh setoran Jemaah Umrah”.
“Bahkan bagi pihak yang tidak berizin PPIU dalam mengkoordinir keberangkatan Jemaah umrah ada ancaman pidana cukup berat. Mereka bisa dituntut dengan pidana enam tahun atau denda enam milyar rupiah,” tegasnya.
Ketentuan tersebut diatur di dalam Pasal 122 dan 124. Pasal 122 berbunyi: Setiap Orang yang tanpa hak bertindak sebagai PPIU dengan mengumpulkan dan/atau memberangkatkan Jemaah Umrah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Dan Pasal 124 berbunyi: Setiap Orang yang tanpa hak mengambil sebagian atau seluruh setoran Jemaah Umrah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)
Sedangkan bagi masyarakat yang melakukan keberangkatan umrah secara mandiri, Hilman menyampaikan perlunya masyarakat mengutamakan keamanan dan kenayamanan dalam beribadah. “Umrah adalah ibadah. Maka kami mengimbau agar masyarakat mengedepankan faktor keselamatan dan kesehatan. Keberangkatan umrah melalui PPIU agar Jemaah mendapatkan hak pelindungan. Keberangkatkan umrah mandiri sangat berisiko bagi masyarakat yang tidak berpengalaman bepergian ke luar negeri,” pungkasnya.
Mohon untuk memberikan komentar dengan jelas, sopan, dan bijaksana
Segala tulisan di ruang publik dapat meninggalkan jejak digital yang sulit dihilangkan
Segala tulisan yang memberikan sentimen negatif terkait SARA, ujaran kebencian, spamming, promosi, dan berbagai hal yang bersifat provokatif atau melanggar norma dan undang-undang dapat diproses lebih lanjut sesuai undang-undang yang berlaku