Wudhu Batal Ketika Thawaf, Haruskah Mengulang dari Awal?
HIMPUHNEWS - Saat berihram, yaitu tahap awal melakukan haji atau umrah harus dalam keadaan suci dari hadas besar atau kecil. Pantangan-pantangan selama itu juga telah ditentukan. Selama menjalani ihram ada yang harus dilakukan dalam keadaan suci dari hadas, seperti salat sunnah dan sebagian besar pendapat ulama juga pada waktu thawaf. Dalam melakukan ihram ada yang tidak harus dalam keadaan suci dari hadas kecil seperti pada waktu wukuf di Arafah dan wukuf melempar jumrah.
Perlu diketahui bahwa di musim haji, apalagi saat-saat puncak haji ketika thawaf ifadhoh (yang termasuk rukun haji), keadaan akan penuh sesak. Sehingga jika ada yang batal wudhunya di pertengahan thawaf, maka akan sulit keluar dari jalur. Lalu bagaimana mengenai masalah ini? Misalnya jika sudah mengitari thawaf sebanyak empat kali, lalu thawafnya batal, haruskah diulangi dari awal ataukah boleh dilanjutkan sisa tiga putaran yang ada?
Menurut mayoritas ulama (baca: jumhur), orang yang berhadats (besar atau kecil) tidak boleh berthawaf mengelilingi Ka’bah. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلَاةٌ فَأَقِلُّوا مِنْ الْكَلَامِ
“Thawaf di Ka’bah seperti shalat, namun di dalamnya dibolehkan sedikit bicara.” (HR. An Nasai no. 2922)
Jika kita mengikuti pendapat jumhur ulama, maka barangsiapa yang batal wudhunya di tengah-tengah thawaf, wajib baginya mengulangi wudhu. Apakah thawafnya diulangi lagi dari awal (putaran pertama) atau boleh melanjutkan thawaf sebelumnya?. Dalam hal ini mayoritas para ulama mengatakan setelah berwudhu, dia bisa mulai lagi dan melanjutkan sejak hitungannya yang batal.
Dalam dalil yang dijadikan alasan ialah ayat yang bertalian dengan Iarangan masuk masjid dan mengerjakan salat dalam keadaan haid dan junub.
“Hai orang yang beriman, janganlah kamu mengerjakan salat selagi kamu mabuk, sampai kamu mengerti apa yang kamu katakan (sadar). Demikian juga selagi kamu junub sehingga kamu mandi dahulu, kecuali bagi orang yang hanya lewat (di masjid).” (QS. An-Nisa: 43).
“Dan menilik Hadis Aisyah ra. katanya, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Aku tidak menghalalkan masjid untuk orang yang sedang haid dan juga untuk orang yang berjunub.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan oleh lbnu Hazaimah).
Dalam pada itu kita dapat mengamati Hadis-hadis lain, seperti Hadis riwayat At Tirmidzy, Al Hakim dan Al Baihaqy dari Ibnu Abbas dengan nilai hasan, yang menyebutkan kebolehan berbicara dalam thawaf, tentu saja dengan pembicaraan yang baik.
“Thawaf di Baitullah adalah seperti salat, tetapi Allah membolehkan berbicara. Maka siapa yang berbicara (dalam thawaf) maka jangan berbicara kecuali yang baik.” (HR. Thabrany).
Melihat dalil-dalil di atas dan juga mempertimbangkan Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah yang mengatakan bahwa Nabi Saw pertama-tama yang dilakukan ketika masuk kota Makkah adalah mengambil air wudhu yang kemudian thawaf. Maka seorang yang melakukan thawaf haruslah suci dari hadas kecil maupun besar. Dan apabila batal wudhunya, maka harus wudhu lagi dan melanjutkan kekurangannya, tidak usah mengulangi dari permulaan. Karena dalam thawaf dapat diselingi dengan perbuatan lain, seperti salat ketika ada panggilan (iqamah) atau istirahat ketika merasa lelah, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan ‘Atha’ dalam Fiqhus Sunnah.
Namun, jika terjadi hadas kecil (batalnya wuduk) ketika sedang thawaf dalam keadaan jamaah penuh sesak, terutama di saat puncak haji ketika tawaf ifadah (yang termasuk rukun haji) dan tidak memungkinkan mendapatkan air atau jika pun bisa mendapatkan air akan menyusahkan dan memberatkan, maka berdasarkan prinsip taisir (memudahkan) dan ‘adamul-¥araj (meniadakan kesulitan), tawaf tetap dilanjutkan tanpa mengulangi wuduk dengan dasar keringanan dan menghindari mudarat. Memaksa manusia padahal ada kesulitan saat itu justru malah bertentangan dengan firman Allah Swt (QS. Al Baqarah: 185).
Dengan demikian, langkah hati-hatinya adalah tetap berwudhu dan mengulangi wudhu jika batal saat melakukan thawaf manakala tidak menimbulkan kesulitan. Jika sulit karena kondisi yang penuh sesak saat thawaf, maka kita boleh mengambil keringanan. Jadi tawaf yang keadaan sucinya batal karena hadas kecil tetap memadai (mujzi’).
Mohon untuk memberikan komentar dengan jelas, sopan, dan bijaksana
Segala tulisan di ruang publik dapat meninggalkan jejak digital yang sulit dihilangkan
Segala tulisan yang memberikan sentimen negatif terkait SARA, ujaran kebencian, spamming, promosi, dan berbagai hal yang bersifat provokatif atau melanggar norma dan undang-undang dapat diproses lebih lanjut sesuai undang-undang yang berlaku