Aturan Baru Kuota Haji Dipersoalkan, Calon Jemaah Gugat UU Haji ke Mahkamah Konstitusi

HIMPUHNEWS - Mahkamah Konstitusi kembali menerima gugatan terkait penyelenggaraan haji. Kali ini, seorang calon jemaah haji reguler asal Jawa Barat, Endang Samsul Arifin, menggugat aturan pembagian kuota dalam Undang Undang Nomor 14 Tahun 2025. Ia menilai ketentuan dalam Pasal 13 ayat (2) menyebabkan ketidakpastian waktu keberangkatan yang berdampak langsung kepada jutaan calon jemaah.
Gugatan tersebut teregister sebagai Perkara Nomor 237/PUU-XXIII/2025 dan dibacakan dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Selasa (9/12/2025). Endang mengaku aturan itu membuatnya mengalami kerugian konstitusional sebagai warga negara sekaligus calon jemaah.
"Keberlakuan norma pasal tersebut telah mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum yang adil bagi Pemohon selaku Warga Negara Indonesia dan selaku calon jemaah haji reguler," ujar Endang dalam persidangan, dikutip dari YouTube MK.
Inti Gugatan: Opsi Kuota Ganda Dinilai Timbulkan Kekacauan
Pasal yang digugat itu mengatur bahwa pembagian kuota haji reguler per provinsi bisa ditetapkan berdasarkan dua pilihan:
-
Proporsi jumlah penduduk muslim antarprovinsi, dan/atau
-
Proporsi jumlah daftar tunggu jemaah antarprovinsi.
Menurut Endang, fleksibilitas dua opsi ini justru memicu ketidakjelasan. Dampaknya paling terasa di Jawa Barat, provinsi dengan daftar tunggu terbesar nasional. Ia menilai kuota Jabar berubah drastis setelah penerapan Pasal 13 ayat (2).
Dalam praktiknya, Menhaj (Menteri Haji dan Umrah) menetapkan pembagian kuota setiap tahun menjelang musim haji. Endang menilai kewenangan tersebut terlalu longgar sehingga setiap tahun kuota bisa berubah-ubah.
"Hal tersebut mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum yang adil bagi para calon jemaah haji reguler, karena estimasi tahun keberangkatan haji para calon jemaah haji reguler secara faktual menjadi berubah dan perubahan tersebut secara potensial dapat berubah kembali secara berulang setiap tahunnya," lanjutnya.
Ia menegaskan bahwa perbedaan dua opsi tersebut menghasilkan distribusi kuota yang jauh berbeda.
"Menteri telah memilih dan menetapkan pembagian kuota haji reguler untuk musim haji tahun 2026 dengan berdasarkan pertimbangan proporsi jumlah daftar tunggu jemaah haji antarprovinsi dengan mengabaikan proporsi jumlah penduduk muslim antarprovinsi," kata Endang.
Endang menyebut 20 provinsi mengalami pengurangan kuota setelah keputusan Menhaj pada 2026.
"Hal tersebut telah menyebabkan kerugian kerugian bagi 20 provinsi karena jumlah kuota haji reguler berkurang secara drastis dan signifikan. Dan pada saat yang sama telah memberikan keuntungan kepada sejumlah provinsi lainnya," ungkapnya.
Tak Bisa Prediksi Tahun Berangkat
Endang menilai ketidakpastian itu membuat calon jemaah kesulitan memprediksi tahun keberangkatannya. "Bahwa norma pasal dalam perkara a quo yang tidak menentukan skema pembagian kuota haji reguler secara tegas dan pasti, telah menyebabkan para calon jemaah haji reguler tidak dapat memprediksi opsi mana yang akan dipilih dan akan ditetapkan oleh Menteri dari tahun ke tahun, sehingga menyebabkan para calon jemaah haji reguler berada dalam kondisi ketidakpastian terkait estimasi tahun keberangkatannya," tuturnya.
Dalam petitumnya, Endang meminta MK menyatakan Pasal 13 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945—kecuali dimaknai lebih tegas. Ia meminta pembagian kuota ditetapkan secara adil dan berimbang, berdasarkan dua parameter sekaligus:
-
proporsi jumlah penduduk muslim antarprovinsi, dan
-
proporsi daftar tunggu jemaah haji.
Mohon untuk memberikan komentar dengan jelas, sopan, dan bijaksana
Segala tulisan di ruang publik dapat meninggalkan jejak digital yang sulit dihilangkan
Segala tulisan yang memberikan sentimen negatif terkait SARA, ujaran kebencian, spamming, promosi, dan berbagai hal yang bersifat provokatif atau melanggar norma dan undang-undang dapat diproses lebih lanjut sesuai undang-undang yang berlaku
