Sebelum Pilih Umrah Backpacker, Ketahui Perbedaannya dengan Umrah Travel Resmi
HIMPUHNEWS - Belakangan ini fenomena umrah backpacker semakin marak dikalangan masyarakat khususnya anak muda. Ajakan umrah backpacker berseliweran di berbagai platform media sosial mulai dari facebook, instagram hingga broadcast-broadcast disejumlah whatsapp grup.
Biasanya ajakan umrah backpacker itu menawarkan sejumlah keuntungan, mulai dari harga yang lebih ekonomis, waktu yang lebih fleksibel hingga bisa bebas mengunjungi berbagai tempat tanpa harus mengikuti jadwal itinerary yang biasanya ketat dengan waktu. Namun apakah memang demikian?, apakah umrah backpacker itu 'seindah' kelihatannya?.
Menjawab hal itu masyarakat harus tahu terlebih dahulu mengenai apa itu umrah backpacker dan perbedaannya dengan umrah reguler melalui travel resmi serta berbagai risiko yang ada pada keduanya.
Umrah backpaker lebih mudahnya adalah umrah yang dilaksanakan secara mandiri tanpa melibatkan travel umrah. Masyarakat akan mencari visa sendiri, pesan tiket penerbangan sendiri, bahkan booking hotel di Arab Saudi dilakukan sendiri tanpa melalui jasa travel umrah melalui aplikasi yang disediakan pemerintah Arab Saudi. Pun begitu dengan pemesanan tiket pesawat dan akomodasi di Arab Saudi. Banyak tersedia platform digital untuk pemesanannya.
Lalu apa perbedaannya dengan umrah melalui travel resmi atau Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU)?, Berikut ulasannya ;
1. Dijamin Undang-undang
Masyarakat harus tahu, bahwa UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) mengatur tata cara WNI yang akan beribadah umrah. Pasal 86 menyebutkan bahwa umrah dapat dilaksanakan secara perseorangan dan berkelompok melalui PPIU.
Artinya menurut Undang-undang semua yang akan beribadah umrah baik secara perseorangan maupun berkelompok harus melalui PPIU. Hal ini bukan semata-mata untuk pemesanan visa, tiket, dan hotel. Namun jauh lebih banyak dari itu.
PPIU merupakan badan hukum yang menjadi semacam sponsor di luar negeri dan bertanggung jawab atas keselamatan, keamanan, dan kenyamanan jemaah umrah. Itu salah satu alasan umrah wajib melalui PPIU. Keberangkatan umrah melalui PPIU lebih menekankan pada unsur pelindungan, bukan hanya sekedar mengantar orang yang akan beribadah.
Bila dilihat dari kesesuaian umrah backpaker dengan peraturan perundang-undangan, jelas tidak sesuai. Ada banyak regulasi yang ditabrak, salah satunya Pasal 86 UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Belum lagi bicara tentang ada tidaknya pihak yang turut serta membantu, mengumpulkan, memberangkatkan, menerima setoran biaya umrah yang dikoordinir. Pasal 115 UU PIHU mengatur bahwa setiap orang dilarang tanpa hak bertindak sebagai PPIU, mengumpulkan dan/atau memberangkatkan jemaah umrah. Pasal 117 juga melarang pihak yang tidak memiliki izin sebagai PPIU menerima setoran biaya umrah.
Ancaman dari larangan Pasal 115 dan Pasal 117 tersebut bukan kaleng-kaleng. Larangan tersebut masuk kategori pidana. Pelanggaran Pasal 114 akan dipenjara paling lama 6 tahun atau dipidana denda paling banyak 6 miliar rupiah. Sedangkan pelaku larangan Pasal 116 dapat dipidana lebih berat lagi, yaitu 8 tahun atau denda 8 milyar rupiah. Bahkan bila ditemukan ada PPIU yang memfasilitasi keberangkatan umrah Non PPIU dikenai sanksi administratif sampai pada pencabutan izin berusaha.
2. Perlengkapan Umrah
PPIU umumnya menyediakan perlengkapan umrah kepada para jamaah. Perlengkapan meliputi koper, tas jinjing, mukena, pakaian ihram, dan kebutuhan lainnya. Sementara, jika memilih umrah backpacker maka jamaah harus mempersiapkan semua perlengkapan sendiri.
3. Transportasi
Melaksanakan ibadah umrah dengan travel resmi sudah mencakup biaya penerbangan pulang-pergi dan transportasi selama di makkah. Penerbangan umrah pun langsung menuju bandara King Abdul Aziz atau bandara Prince Muhammad bin Abdul Aziz.
Namun, jika melaksanakan umrah backpacker artinya jamaah harus memesan tiket sendiri. Jamaah umrah harus siap dengan penerbangan transit dan mengurus handling bagasi sendiri. Merepotkan bukan?
4. Itinerary dan Pendampingan
Jamaah umrah travel resmi akan didampingi oleh tim yang berpengalaman. Tentunya hal ini sangat membantu jamaah untuk khusus dalam beribadah. Tim travel akan mengatur jadwal ibadah, ziarah, dan panduan selama perjalanan. Ini tentu berbeda dengan umrah backpacker dimana jemaah dapat mengatur itinerary sesuai keinginannya sendiri.
5. Keamanan dan Kepastian
Perbedaan selanjutnya perihal keamanan selama ibadah umrah di tanah suci. PPIU sudah memiliki izin resmi, asuransi perjalanan, dan tim khusus yang siap membantu. Selain itu sebelum melaksanakan umrah biasanya PPIU sudah menjelaskan mengenai semua layanan akomodasi yang akan didapatkan seperti hotel, layanan bis selama di tanah suci, makan jemaah dll. Ini tentu memberi kepastian layanan bagi jemaah umrah, sehingga ibadah lebih tenang dan khusyuk tanpa harus mengkhawatirkan hal hal tersebut.
Di sisi lain, umrah mandiri memiliki risiko yang lebih tinggi. Jamaah harus mengurus semua hal sendiri tanpa tim.
6. Pengalaman dan Pengetahuan
Travel resmi menawarkan perjalanan terorganisir kepada jamaah umrah. Mereka juga memberikan akan memberikan panduan dalam menjalankan ibadah umrah dengan tata cara yang sesuai. Biasanya perjalanan akan dipandu oleh Ustadz yang telah berpengalaman hingga bertahun-tahun dalam membimbing jemaah.
Berbeda dengan umrah mandiri, dimana jamaah dapat mengeksplorasi dan mencari pengalaman pribadi mereka sendiri.
7. Risiko
Data jemaah umrah dari Indonesia yang dihimpun dari Sistem Komputerisasi Pengelolaan Terpadu Umrah dan Haji Khusus (Siskopatuh) menunjukkan bahwa mayoritas jemaah umrah berpendidikan menengah ke bawah, belum pernah bepergian ke luar negeri, berusia lanjut, didominasi perempuan, dan berasal dari desa. Mereka identik dengan masyarakat yang belum memiliki pengalaman ke luar negeri, termasuk Arab Saudi. Mereka tidak mengetahui regulasi penerbangan internasional, tidak memahami regulasi Arab Saudi, bahkan tidak mengenal kultur masyarakat Arab.
Bila kelompok masyarakat tersebut melaksanakan umrah backpacker, tentu mereka membutuhkan pendampingan. Mereka rentan terhadap penipuan. Bila sudah tertipu, tentu akan sangat merepotkan banyak pihak. Jemaah backpaker tidak memiliki akses untuk mengurus hak-haknya jika mengalami persoalan, termasuk saat di Arab Saudi.
Bila terlantar misalnya, maka sangat mungkin mereka akan menjadi overstayer atau tinggal melebihi batas waktu visa. Ada denda besar menunggu dan dipastikan akan dideportasi oleh otoritas Arab Saudi. Efek deportasi juga tidak kalah menyeramkan, yaitu dilarang masuk Arab Saudi dalam waktu 10 tahun. Lalu, bagaimana bila mereka memiliki antrean haji dalam kurun waktu tersebut? Pasti mereka juga dilarang melintas imigrasi bandara Arab Saudi dan tidak dapat melaksanakan ibadah haji.
Mereka juga rawan sakit karena cuaca ekstrem dan tidak mendapatkan layanan standar. Sebagai contoh, pada bulan lalu ditemukan jemaah umrah backpaker berusia lanjut yang ditinggal kelompoknya karena harus menjalani perawatan di Rumah Sakit yang ada di Jeddah. Ketika jemaah tersebut telah dinyatakan sembuh dan boleh pulang, ternyata tidak ada pihak yang bersedia memulangkan karena berangkat tanpa melalui PPIU.
Ditemukan juga jemaah umrah yang meninggal dunia, bahkan sejak sebelum operasional haji, tapi belum dimakamkan. Kenapa? karena tidak ada yang mengurus izin pemakaman disebabkan ketidakjelasan pihak yang memberangkatkan. Belum lagi soal surat kematian bagi jemaah meninggal. Bila tidak ada PPIU yang memberangkatkan maka akan kesulitan dalam penerbitan Surat Kematian sebagai administrasi kependudukan di Indonesia.
Bukan hanya itu, mereka juga berpotensi melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum dan tradisi masyarakat Arab Saudi. Bila jemaah umrah backpaker melanggar hukum Arab Saudi, tidak ada pihak yang dapat membantu proses hukumnya. Pelanggaran-pelanggaran tersebut tentu akan merusak nama baik bangsa dan negara Indonesia di mata dunia.
Mohon untuk memberikan komentar dengan jelas, sopan, dan bijaksana
Segala tulisan di ruang publik dapat meninggalkan jejak digital yang sulit dihilangkan
Segala tulisan yang memberikan sentimen negatif terkait SARA, ujaran kebencian, spamming, promosi, dan berbagai hal yang bersifat provokatif atau melanggar norma dan undang-undang dapat diproses lebih lanjut sesuai undang-undang yang berlaku