Bukan Uang Negara! Pakar UI Luruskan Salah Kaprah Soal Dana Jemaah dan Kuota Haji
HIMPUHNEWS - Publik kembali ramai memperbincangkan soal dana dan kuota haji di tengah penyidikan kasus dugaan korupsi kuota tambahan. Di tengah simpang siur itu, pakar hukum keuangan publik dari Universitas Indonesia (UI), Dian Puji Nugraha Simatupang, menilai sudah saatnya masyarakat memahami dengan benar: Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) dan kuota haji bukanlah bagian dari keuangan negara.
“Bipih sepenuhnya berasal dari jamaah, bukan dari APBN, sehingga tidak dapat menjadi keuangan negara karena penggunaan dan pemanfataan sepenuhnya bagi jamaah haji,” tegas Dian dalam keterangannya seperti dikutip dari antara, Kamis (9/10/2025).
Dana Jamaah Bukan Bagian APBN
Dian menjelaskan, dana Bipih sama sekali tidak bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dana tersebut sepenuhnya dibayarkan langsung oleh calon jamaah haji dan bersifat titipan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, serta Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.
“Karena tidak bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dana tersebut tidak termasuk penerimaan negara, baik dalam bentuk pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP),” ujarnya.
Dengan dasar itu, ia menilai keliru jika ada pihak yang menyebut dana Bipih bisa menimbulkan kerugian negara. Negara, kata Dian, tidak memiliki hak apa pun atas dana tersebut.
“Tidak ada kerugian negara di sana karena seluruh dana adalah milik jamaah, bukan milik pemerintah dan tidak menjadi milik negara ketika jamaah batal berangkat,” tambahnya.
Dian juga mengingatkan, bahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam berbagai auditnya tidak pernah mengategorikan dana Bipih sebagai bagian dari keuangan negara karena posisinya memang berada di luar struktur APBN.
Kuota Haji Bukan Komoditas Negara
Selain dana haji, Dian juga menyoroti kesalahpahaman soal kuota haji. Ia menyebut masih banyak anggapan bahwa kuota tersebut memiliki nilai ekonomi dan bisa menjadi sumber penerimaan negara. Padahal, menurutnya, itu pemahaman yang salah.
“Kuota haji adalah hak administratif bagi jamaah, bukan hak fiskal negara. Kuota tidak menghasilkan pendapatan atau keuntungan negara karena sifatnya bukan untuk mencari keuntungan,” jelasnya.
Kuota haji, kata Dian, sepenuhnya merupakan kewenangan administratif yang diberikan kepada Menteri Agama sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019. Karena itu, kuota tidak bisa diperlakukan sebagai “komoditas negara”.
“Jika ada keberatan atau dugaan pelampauan wewenang, penyelesaiannya harus melalui mekanisme hukum seperti Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi, bukan asumtif,” tegasnya.
Arahkan ke Tata Kelola, Bukan Polemik
Dian mengingatkan agar isu dana dan kuota haji tidak terus dijadikan bahan polemik yang menyesatkan. Fokus, katanya, seharusnya diarahkan pada upaya memperkuat tata kelola haji yang transparan dan akuntabel.
Ia menekankan dua prinsip dasar dalam penyelenggaraan ibadah haji. Pertama, Bipih dan Bipih Khusus adalah dana titipan jamaah yang dikelola untuk kepentingan mereka, bukan bagian dari APBN. Kedua, kuota haji bukan aset negara dan tidak memiliki nilai ekonomi karena murni bersifat administratif.
“Prinsip dasarnya jelas: ini soal amanah dan pelayanan, bukan soal penerimaan negara,” tutupnya.
Sumber: Antara
Mohon untuk memberikan komentar dengan jelas, sopan, dan bijaksana
Segala tulisan di ruang publik dapat meninggalkan jejak digital yang sulit dihilangkan
Segala tulisan yang memberikan sentimen negatif terkait SARA, ujaran kebencian, spamming, promosi, dan berbagai hal yang bersifat provokatif atau melanggar norma dan undang-undang dapat diproses lebih lanjut sesuai undang-undang yang berlaku