Batas Kabur antara Kebijakan dan Tindak Pidana: Menelaah Penegakan Hukum Kasus Dugaan Korupsi Kebijakan Kuota Haji Era Menteri Yaqut
Belakangan ini, penanganan kasus terkait perkara korupsi di Indonesia menuai beragam sorotan. Sebut saja mulai kasus Tom Lembong, Nadiem Makarim, hingga yang terbaru Yaqut Cholil. Ketiga kasus tersebut menimbulkan pro-kontra bahkan keresahan di masyarakat. Di satu sisi, publik mendukung upaya pemberantasan korupsi. Namun di sisi lain, muncul kegelisahan ketika langkah penegakan hukum justru menyasar ranah kebijakan administratif, yang seharusnya tidak serta-merta bisa ditarik ke ranah pidana.
Dalam penanganan kasus dugaan korupsi kuota haji era Menteri Yaqut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebenarnya menjadi contoh nyata bagaimana tipisnya batas antara kebijakan publik dan tindak pidana dapat menimbulkan persoalan serius. Penyelidikan terhadap pengelolaan, redistribusi, dan optimalisasi kuota haji bisa menimbulkan kegelisahan yang luas, tidak hanya di kalangan pejabat negara, tetapi juga di sektor swasta—khususnya pelaku usaha penyelenggara perjalanan ibadah haji.
Skema pengaturan kuota haji sebenarnya telah memiliki dasar hukum yang jelas. Skema tersebut dijalankan melalui regulasi yang diatur secara berjenjang oleh negara: mulai dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019, Peraturan Menteri Agama, hingga mekanisme diplomatik antara Indonesia dan Arab Saudi. Pelaku usaha haji dan umrah yang telah beritikad baik pun terlibat bukan sebagai pihak ilegal, tetapi sebagai mitra negara dalam memenuhi kebutuhan jamaah dan memperkuat layanan publik.
Ketika kebijakan publik yang sah dipaksakan masuk ke ranah pidana tanpa terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana korupsi—terutama unsur kerugian negara yang nyata, pasti, dan dapat dihitung—maka penegakan hukum kehilangan landasan proporsional dan berpotensi berubah menjadi kriminalisasi kebijakan. Dalam kasus dugaan korupsi kuota haji, pemanggilan penyelenggara haji swasta oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengindikasikan bahwa unsur kerugian keuangan negara belum berdiri secara jelas dan konkret.
Jika sejak awal kerugian negara memang sudah nyata, terukur, dan berkaitan langsung dengan keuangan negara, BPK bisa saja tidak perlu melakukan pemanggilan terhadap pihak non-pengelola APBN. Hal ini sejalan dengan tafsir Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006, yang menegaskan bahwa unsur kerugian keuangan negara harus dibuktikan dan dapat dihitung, meskipun baru sebatas dugaan. Namun, pembuktian kerugian keuangan negara tidak boleh bersifat asumtif, melainkan harus disimpulkan oleh ahli dibidangnya.
Fakta bahwa BPK melakukan pemanggilan terhadap pihak penyelenggara haji dan umrah dari swasta dapat dibaca sebagai indikasi bahwa unsur kerugian negara belum ditemukan secara otomatis atau melekat telah ada, sehingga diperlukan proses verifikasi terlebih dahulu. Proses demikian bisa menimbulkan beberapa dugaan, seperti belum ada dana negara yang ditemukan diselewengkan, belum ada kerugian APBN, dan belum ditemukan aliran manfaat ekonomi yang bersumber dari kekayaan negara. Dengan kondisi tersebut, secara normatif unsur kerugian keuangan atau perekonomian negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR) belum terpenuhi sebagaimana disyaratkan dalam teori hukum pidana maupun berbagai putusan Mahkamah Konstitusi terkait, yang menguji keabsahan UU TIPIKOR.
Dampak dari pendekatan seperti ini tidak bisa dianggap sepele. Kriminalisasi yang secara spesifik menyasar pada tataran kebijakan, misalnya dalam konteks kebijakan kuota haji, dapat menciptakan ketidakpastian hukum, menghambat inovasi pelayanan, dan merusak kepercayaan pelaku usaha. Dunia usaha penyelenggara ibadah haji/umrah menjadi khawatir memasuki wilayah kerja sama dengan negara, karena takut sewaktu-waktu kebijakan administratif yang sah dapat dianggap sebagai tindak pidana.
Lebih jauh, penanganan semacam ini juga memperlihatkan masalah klasik dalam penegakan hukum korupsi di Indonesia: minimnya diferensiasi antara kesalahan administratif dan perbuatan melawan hukum pidana. Tidak semua pelanggaran, kelalaian, atau keputusan kebijakan otomatis menjadi kejahatan korupsi. Di banyak negara, penyelesaian administrasi dilakukan melalui mekanisme etik, audit, koreksi kebijakan, atau sanksi administratif—bukan kriminalisasi. Di Indonesia sendiri, sebenarnya juga telah ada UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang merumuskan nomenklatur ketentuan mengenai kesalahan administratif dan sanksinya serta bagaimana mekanisme ujinya.
Dengan konstruksi hukum tersebut, kesalahan administratif, bahkan yang berimplikasi pada kerugian negara, tidak serta-merta dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi. Penyelesaiannya diutamakan melalui mekanisme administratif, sedangkan pidana diposisikan sebagai jalan terakhir (ultimum remedium). Prinsip ini konsisten dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 31/PUU-X/2012, yang juga memiliki semangat anti kriminalisasi kebijakan pejabat publik dengan menggunakan UU TIPIKOR.
Jika kita dudukan kembali semangat pemberantasan korupsi, fokus seharusnya diarahkan pada penyalahgunaan kewenangan yang menimbulkan kerugian negara, suap, gratifikasi, atau tindak pidana yang nyata berhubungan dengan kejahatan korupsi. Bukan pada diskresi atau kebijakan yang memiliki dasar hukum. Penegakan hukum yang tidak proporsional justru menurunkan kualitas tata kelola pemerintahan dan mengganggu iklim usaha.
Sayangnya, jika kita cermati dinamika pro dan kontra dalam tiga kasus di atas, terlihat bahwa problem utamanya bukan semata pada siapa yang diperiksa, tetapi pada kaburnya batas antara ranah administratif dan ranah pidana. Kondisi ini menegaskan perlunya garis demarkasi yang jelas antara kebijakan yang sah dan penyalahgunaan kewenangan, antara kesalahan administratif dan unsur tindak pidana, serta antara diskresi negara dan korupsi yang merugikan publik.
Selama batas ini kabur, maka risiko kriminalisasi akan terus menghantui penyelenggara negara maupun pelaku usaha yang bekerja dalam sistem resmi. Jika tidak dilakukan pembenahan paradigma, bukan hanya pejabat publik yang akan berhenti mengambil keputusan karena takut dikriminalisasi, tetapi juga sektor swasta yang menjadi mitra negara akan memilih menarik diri.
Ke depan, pemberantasan korupsi yang kredibel membutuhkan keseimbangan antara kepastian hukum, proporsionalitas, dan perlindungan terhadap kebijakan publik yang sah. Ketika pendekatan pidana digunakan secara serampangan dalam urusan administratif, maka yang dirugikan bukan hanya individu, tetapi kepentingan jamaah, dunia usaha, dan citra negara itu sendiri.
Ditulis oleh Maruf Bajammal, S.H - Pendiri Kantor Hukum Maruf Bajammal Law Office
Mohon untuk memberikan komentar dengan jelas, sopan, dan bijaksana
Segala tulisan di ruang publik dapat meninggalkan jejak digital yang sulit dihilangkan
Segala tulisan yang memberikan sentimen negatif terkait SARA, ujaran kebencian, spamming, promosi, dan berbagai hal yang bersifat provokatif atau melanggar norma dan undang-undang dapat diproses lebih lanjut sesuai undang-undang yang berlaku