Ekonomi Triliunan dari Haji-Umrah Belum Maksimal, Indonesia Disebut Masih Jadi “Penonton”
HIMPUHNEWS - Besarnya jumlah jemaah haji dan umrah asal Indonesia belum otomatis berbanding lurus dengan manfaat ekonomi di dalam negeri. Di tengah pertumbuhan permintaan ibadah ke Tanah Suci, nilai tambah industri haji-umrah justru dinilai masih banyak mengalir ke luar negeri, terutama ke Arab Saudi dan negara pemasok layanan pendukung.
Direktur Infrastruktur Ekonomi Syariah Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) sekaligus Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Sutan Emir Hidayat, menilai persoalan utama terletak pada belum terbangunnya ekosistem industri haji dan umrah yang terintegrasi di Indonesia.
“Indonesia masih berperan besar sebagai penyedia jamaah, bukan sebagai pemilik rantai nilai. Nilai tambah domestik masih terbatas pada travel agent dan sebagian perlengkapan jamaah,” tutur Sutan, Senin (22/12/2025).
Padahal, menurut Sutan, industri haji dan umrah memiliki keterkaitan luas dengan sektor industri halal, UMKM, jasa keuangan syariah, hingga logistik yang seharusnya mampu menyerap tenaga kerja dan mendorong pemerataan ekonomi.
Multiplier Effect Bocor ke Luar Negeri
Sutan menjelaskan, kebocoran ekonomi paling besar terjadi pada sektor-sektor utama seperti transportasi udara, akomodasi, katering, serta berbagai layanan pendukung yang mayoritas dikuasai pihak luar negeri. Bahkan, kebutuhan konsumsi jemaah masih banyak dipenuhi produk impor.
Akibatnya, Indonesia dinilai masih berada di posisi hilir dalam rantai nilai global haji dan umrah. Dampaknya, meski jumlah jemaah terus meningkat setiap tahun, kontribusinya terhadap perekonomian nasional belum optimal.
Tekanan eksternal juga diperkirakan masih membayangi sektor ini pada 2026. Fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan riyal Arab Saudi berpotensi meningkatkan biaya paket ibadah. Di sisi lain, dinamika geopolitik Timur Tengah ikut memengaruhi biaya asuransi, penerbangan, dan logistik.
Vision 2030 dan Tantangan Kebijakan
Sutan menambahkan, kebijakan Arab Saudi melalui Vision 2030 yang semakin melonggarkan akses visa diprediksi akan meningkatkan volume jemaah. Namun, kondisi itu juga berpotensi memperketat persaingan harga dan kualitas layanan.
Menurutnya, tantangan tersebut harus dijawab dengan kebijakan yang lebih terpadu, mulai dari penguatan standarisasi produk, konsolidasi UMKM agar mampu memenuhi skala ekonomi, hingga penguatan diplomasi ekonomi dengan Arab Saudi.
“Selain itu, KNEKS mendorong penguatan hilirisasi nilai dan pembiayaan syariah, termasuk standardisasi produk, konsolidasi UMKM, serta diplomasi ekonomi dengan Arab Saudi,” pungkas Sutan.
Mohon untuk memberikan komentar dengan jelas, sopan, dan bijaksana
Segala tulisan di ruang publik dapat meninggalkan jejak digital yang sulit dihilangkan
Segala tulisan yang memberikan sentimen negatif terkait SARA, ujaran kebencian, spamming, promosi, dan berbagai hal yang bersifat provokatif atau melanggar norma dan undang-undang dapat diproses lebih lanjut sesuai undang-undang yang berlaku

