Perjuangan PIHK dan PPIU Menjaga Martabat Dua Kota Suci

Oleh: Rd. H. Holil Aksan Umarzen, Ketua TPPI – Tim Penyelamat PIHK Indonesia
Pengantar: Pesan untuk Bangsa dan Umat
“Ka‘bah adalah urusan Allah, tetapi menjaga kehormatan dan kesejahteraan umat adalah urusan kita.” – Hikmah Abu Muthalib saat menghadapi Abrahah, peristiwa Ashabul Fîl.
Kalimat itulah yang seharusnya menggema di hati kita hari ini. Ketika sebagian manusia berusaha menghancurkan tatanan ibadah yang suci,
Allah menjaga rumah-Nya dengan cara-Nya sendiri. Namun, Allah juga menguji:
Siapakah di antara hamba-Nya yang tetap setia menjaga kesucian, dan siapa yang justru menodainya dengan tangan kekuasaan dan kepentingan dunia.
Takdir yang Diuji: Antara Sabar dan Salah Tafsir
Tidak semua ujian datang dari musuh yang tampak. Kadang, ia datang dari sesama saudara seiman, dari sistem yang pincang, atau dari ketidaktahuan yang dibungkus niat baik.
Begitulah ujian yang kini menimpa para pelaksana ibadah suci: PIHK (Penyelenggara Ibadah Haji Khusus) dan PPIU (Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah). Mereka yang selama ini menjaga nama bangsa di Tanah Suci justru diguncang, dicurigai, bahkan dituduh korup.
Padahal, mereka hanyalah pelaksana aturan negara — taat hukum, menanggung risiko sosial, dan tetap berjuang agar jamaah tamu Allah (Ḍuyūfullah) dapat berangkat dengan selamat, terhormat, dan bermartabat.
“Menunggu takdir” bagi mereka bukanlah pasrah, melainkan tanda keyakinan bahwa Allah senantiasa menjaga hamba-hamba-Nya yang tulus berkhidmat.
Sejarah yang Tidak Boleh Terulang Ketika Dua Kota Suci Ternoda oleh Kelalaian Bangsa
Antara tahun 1970 hingga 1980-an, sejarah bangsa kita pernah diwarnai luka sosial yang panjang.
Pemerintah membuka secara besar-besaran pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Timur Tengah,termasuk ke Makkah dan Madinah, bahkan melalui jalur umrah perorangan yang kini dikenal sebagai umrah mandiri.
Ratusan ribu perempuan Indonesia diberangkatkan, tak sedikit dari kawasan rawan moral seperti Dolly, Saritem, dan Kramat Tunggal. Sebagian besar memang berjuang demi hidup, namun tanpa disadari, arus besar itu menimbulkan efek sosial: munculnya penampungan ilegal, TKI kaburan, dan pelanggaran moral yang mencederai kehormatan dua kota suci.
Pemerintah Arab Saudi pada masa itu melakukan pembersihan besar-besaran,karena banyak pelanggaran terjadi di wilayah yang seharusnya menjadi cermin kesucian Islam.
Bangsa Indonesia — negeri Muslim terbesar di dunia — saat itu ikut menanggung malu di hadapan umat Islam sedunia.
Ketika moral dua kota suci terguncang, Allah memperingatkan bukan dengan hukuman langsung, tetapi dengan ujian demi ujian yang menggugah kesadaran bangsa.
Azab, Rahmat, dan Lupa yang Menjadi Luka
Sejak masa itu, negeri ini seolah tak lepas dari cobaan besar: krisis ekonomi, reformasi politik yang tak berujung, hingga hilangnya arah moral.
Sebagian ulama memandangnya sebagai teguran Ilahi atas kelalaian bangsa yang tidak menjaga kesucian Tanah Haram.
Sebab kehormatan dua kota suci bukan hanya milik Arab Saudi, tetapi milik seluruh umat yang datang ke sana membawa nama bangsanya.
Ketika bangsa lupa bahwa kesucian Makkah dan Madinah adalah amanah, maka datanglah ujian: antara azab bagi yang lalai, dan rahmat bagi yang sabar.
Warisan Ulama Nusantara: Cahaya dari Timur Jauh
Namun, sebelum masa kelam itu, Indonesia dikenal sebagai bangsa yang melahirkan ulama-ulama besar di Tanah Suci: Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syekh Hasyim Asy‘ari, Syekh Kholil Bangkalan, dan Syekh Ahmad Dahlan.
Merekalah penerang zaman, yang menanamkan kehormatan bangsa Nusantara di jantung Islam. Mereka dihormati bukan karena kekayaan, melainkan karena ilmu, adab, dan akhlak.
Nama Indonesia harum di Hijaz karena mereka. Dan karena merekalah, bangsa ini pernah dikenal sebagai bangsa yang beradab, bukan sekadar beragama.
Warisan mereka kini diteruskan oleh PIHK dan PPIU —bukan dengan kitab dan pena, tetapi dengan pelayanan, kejujuran, dan kesetiaan menjaga martabat jamaah tamu Allah.
PIHK dan PPIU: Penjaga Marwah Bangsa
PIHK dan PPIU adalah penjaga peradaban baru umat. Mereka membangun sistem haji dan umrah yang profesional, tertib, dan beretika.
Mereka mengubah stigma masa lalu menjadi kehormatan baru. Kini, jamaah Indonesia dikenal sebagai jamaah paling tertib, ramah, dan beradab di Tanah Suci.
Mereka datang bukan hanya membawa doa, tetapi membawa wajah bangsa yang penuh hormat dan kebijaksanaan.
PIHK dan PPIU bukan pelanggar hukum, melainkan pelaksana kebijakan yang patuh dan tulus. Mereka bukan pemburu keuntungan haram, tetapi pelayan umat yang menjaga kehormatan bangsa di hadapan Allah dan manusia. Mereka menunggu takdir — bukan dengan keluh kesah,tetapi dengan kerja, doa, dan keyakinan bahwa perjuangan suci ini diridhai Rasulullah SAW.
Pemerintah dan Syariat: Jangan Tutup Mata
Pemerintah dan lembaga agama tidak boleh menutup mata. Ekosistem haji dan umrah yang tertata hari ini adalah buah perjuangan puluhan tahun. Bukan hasil manipulasi, melainkan hasil dedikasi umat yang mencintai Baitullah dengan air mata dan pengorbanan.
PIHK dan PPIU telah menghapus stigma buruk masa lalu, dan mengembalikan martabat Indonesia di mata dunia Islam. Karena itu, menghancurkan ekosistem ini sama saja dengan merobohkan rumah yang dibangun oleh darah, doa, dan perjuangan para ulama Nusantara.
Siapa pun yang merusak tatanan suci ini, sadar atau tidak, sedang menantang murka Allah dan mengundang ujian bagi bangsa yang telah diberi kehormatan besar.
Keyakinan, Ridha Rasul, dan Takdir yang Adil
Kita yakin sepenuh hati bahwa Allah Subhanahu wa Ta‘ala tidak akan menelantarkan hamba-hamba-Nya yang berjuang di jalan-Nya — sekalipun difitnah dan dihakimi oleh ketidaktahuan manusia.
Mereka yang mengganggu perjuangan ini, sadar atau tidak, adalah musuh-musuh Allah, yang melawan kehendak suci untuk memuliakan Baitullah. Namun kita tidak membalas dengan kebencian. Kita membalas dengan amal, kesabaran, dan keyakinan bahwa Rasulullah ﷺ meridhai setiap langkah umatnya yang menjaga kemuliaan dua kota suci dan marwah bangsa yang mencintainya.
“Ka‘bah adalah urusan Allah, tetapi menjaga kehormatan dan kesejahteraan umat adalah urusan kita.”
– (Hikmah Abu Muthalib, menjelang peristiwa Abrahah).
Dan sebagaimana Allah mengirim burung-burung Ababil untuk menghancurkan pasukan gajah, demikian pula Ia akan menjaga kehormatan hamba-hamba-Nya yang menegakkan kebenaran dengan kesabaran dan cinta.
Penutup Hikmah: Menjemput Rahmat Allah
Bangsa Indonesia tidak boleh lupa: ulama-ulamanya telah menitipkan nama besar di Tanah Suci. PIHK dan PPIU adalah penerus amanah itu, penjaga martabat itu, dan pejuang yang diridhai langit.
Kita menunggu takdir — bukan untuk pasrah, tetapi untuk menyaksikan bagaimana Allah menunjukkan siapa yang benar di jalan-Nya, dan siapa yang melawan kehendak-Nya.
“Azab bagi yang lalai, rahmat bagi yang sabar.”
Inilah keyakinan kita: bahwa setiap langkah menjaga kesucian akan berbalas dengan keberkahan dan kemuliaan bangsa.
TPPI – Tim Penyelamat PIHK Indonesia "Menegakkan Ibadah, Menjaga Warisan Ulama, dan Memuliakan Nama Bangsa."
Mohon untuk memberikan komentar dengan jelas, sopan, dan bijaksana
Segala tulisan di ruang publik dapat meninggalkan jejak digital yang sulit dihilangkan
Segala tulisan yang memberikan sentimen negatif terkait SARA, ujaran kebencian, spamming, promosi, dan berbagai hal yang bersifat provokatif atau melanggar norma dan undang-undang dapat diproses lebih lanjut sesuai undang-undang yang berlaku
