HIMPUH Sesalkan Kanwil Kemenag Sulsel Terbitkan Harga Referensi Umrah Rp27,5 Juta, Apa Dasarnya?
HIMPUHNEWS - Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (HIMPUH) menyayangkan langkah Kanwil Kementerian Agama Provinsi Sulawesi Selatan yang menyepakati harga referensi umrah di Provinsi tersebut sebesar Rp27,5 juta untuk perjalanan direct flight dari Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar menuju tanah suci. Keputusan ini diketahui diambil atas dasar kesepakatan dengan kelompok yang mengatasnamakan Perusahaan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) se-Sulsel.
Ketua Umum HIMPUH Muhammad Firman Taufik mengatakan bahwa penetapan harga referensi adalah keputusan yang harus diambil berlandaskan ketentuan yang berlaku mulai dari Peraturan Undang-undang (UU), Peraturan Menteri Agama (PMA) hingga menjadi Keputusan Menteri Agama (KMA). Karenanya langkah Kanwil Kemenag Sulsel dan PPIU se-Sulsel ini menimbulkan ambiguitas dari sisi regulasi.
"Jadi kami pertama tentu kami HIMPUH mempertanyakan ini, apakah hanya sebatas kesepakatan atau sudah berbentuk keputusan. Jika menjadi Keputusan status hukumnya bagaimana?, karena keputusan penetapan harga referensi ini dasarnya adalah dari KMA. Jadi ini menjadi ambigu dan menimbulkan kebingungan," kata Firman kepada himpuhnews Selasa (22/10).
Firman mengatakan bahwa urgensi perlunya biaya referensi ini ditetapkan dalam Pasal 94 UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Hal tersebut juga diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 yang merevisi sebagian ketentuan di dalam UU Nomor 8 Tahun 2019. Pada pasal yang mengatur kewajiban PPIU disebutkan bahwa salah satu kewajiban PPIU adalah mengikuti standar pelayanan minimal dan harga referensi.
"Penetapan itupun biasanya dilakukan berdasarkan pertimbangan dan diskusi dengan pihak Asosiasi yang menjadi kepanjangan tangan Kemenag dalam Penyelenggaraan Haji Umrah. Misalnya KMA Nomor 1021 tahun 2023 tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Umrah (BPIU .red) referensi yang diterbitkan pada 10 November 2023 lalu oleh Menag Yaqut Cholil Quomas, penetapan KMA itu salah satunya, diambil usai mekanisme diskusi panjang dengan seluruh asosiasi haji dan umrah. Sehingga ada proses komunikasi dan berbagai pertimbangan lain disana mengenai situasi terkini terkait komponen biaya dalam perjalanan umrah," ujar Firman.
Firman mengungkapkan bahwa dalam sejarahnya, Kementerian Agama pernah menetapkan BPIU Referensi sebanyak tiga kali. Pertama, BPIU Referensi ditetapkan sebesar Rp20juta. Penetapan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 221 tahun 2018 tentang BPIU Referensi. KMA tersebut terbit pada 13 April 2018.
Berikutnya Kementerian Agama menetapkan BPIU Referensi masa pandemi sebesar Rp26juta. Penetapannya melalui KMA Nomor 777 Tahun 2020 tentang Biaya Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah Referensi Masa Pandemi.
Terakhir, Kemenag menetapkan BPIU Referesni sebesar Rp23 juta yang tertuang dalam KMA Nomor 1021 tahun 2023 tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Umrah referensi yang diterbitkan pada 10 November 2023.
"Nah jadi setahu kami, yang terakhir (biaya referensi) Rp23 juta inilah yang harus menjadi acuan dan wajib ditaati oleh PPIU seluruh Indonesia. Tentunya biaya referensi itu diterbitkan juga atas dasar pertimbangan, bukan sebuah kesepakatan yang tiba-tiba seperti ini," jelas Firman.
Firman pun meminta Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama memberi klarifikasi kepada Asosiasi Haji dan Umrah hingga PPIU terkait langkah yang telah dilakukan Kanwil Kemenag bersama Forum PPIU se-Sulsel tersebut. Hal ini demi menghindari terjadinya kebingungan di masyarakat.
"Jadi kepada Kemenag saya minta untuk dalam hal ini tidak juga tiba-tiba menginisiasi ataupun mengakomodir forum-forum PPIU maupun PIHK lintas daerah yang nantinya justru dikhawatirkan punya potensi bersebrangan dengan asosiasi yang ada dan menimbulkan kebingungan seperti hal ini. Karena kan sekarang sudah ada 12 Asosiasi yang saya kira mencakup semua PPIU di seluruh wilayah di Indonesia,"imbuh dia.
Mohon untuk memberikan komentar dengan jelas, sopan, dan bijaksana
Segala tulisan di ruang publik dapat meninggalkan jejak digital yang sulit dihilangkan
Segala tulisan yang memberikan sentimen negatif terkait SARA, ujaran kebencian, spamming, promosi, dan berbagai hal yang bersifat provokatif atau melanggar norma dan undang-undang dapat diproses lebih lanjut sesuai undang-undang yang berlaku